Welcome...Thanks for your visit....
Blog ini berisi informasi seputar Bayi, Balita, Batita, Kehamilan, Ibu Menyusui, Keluarga, Kesehatan, Kuliner, dll
--- Scroll ke bawah utk melihat Index atau Klik Tab2 dibawah ini ...

Saturday, December 4, 2010

Mertua Gemar Meminta



P
unya mertua begini memang bikin repot. Jika selalu dikabulkan, lama-lama bisa "ngelunjak". Namun bila ditolak, salah-salah malah bikin "perang" dengan pasangan. Nah, bagaimana sebaiknya?
Sebetulnya, kebiasaan orang tua minta ini-itu pada anak-anaknya yang sudah menikah sangat tergantung dari pandangan dan budaya yang dihidupkan pada masing-masing keluarga. Celakanya, kebanyakan orang tua dalam budaya Timur, termasuk Indonesia, umumnya menganggap anak sebagai "investasi" di masa tua.
"Nah, jika budaya ini yang ditumbuhsuburkan dalam keluarga, tak heran bila orang tua menuntut anak selalu menunjukkan tanda bakti yang umumnya dalam bentuk materi," tutur Dra. Chaterine D.M. Limansubroto, M.Sc., psikolog yang mengkhusus diri sebagai family therapiest. Hingga, ketika anak sudah bekerja dan menghasilkan uang sendiri, orang tua merasa itulah saatnya mereka memetik "hasil panen" atas jerih payahnya bertahun-tahun membesarkan anak.
Buat si anak sendiri, lantaran dibesarkan dalam budaya demikian, tentulah "menyetorkan" tanda bakti dianggap sudah selayaknya. Lantaran, pandangan tersebut sudah melekat erat dan terinternalisasi dalam diri anak karena memang digembar-gemborkan sejak ia kecil dengan intensitas cukup tinggi. Hingga, mau tak mau, ketika dewasa, dalam dirinya terbentuk pemikiran untuk mempersembahkan sebagian gajinya pada orang tua. Bahkan, "membalas budi" orang tua kerap dicanangkan sebagai cita-cita utama yang mesti segera direalisasikan. Itu sebab, bila tak mampu memberikan sesuatu untuk menyenangkan orang tuanya, yang bersangkutan akan merasa berdosa atau minimal merasa dirinya sebagai anak yang tak berbakti.

KIRIM DIAM-DIAM
Bukan berarti budaya tersebut salah, lo. Bagaimanapun, kita memang sudah selayaknya memberi kepada orang tua. Terlebih, agama pun menganjurkan demikian. Hanya saja, harus ada kesepakatan antara suami-istri. Maksudnya, suami-istri harus berembuk untuk menentukan apa saja yang diprioritaskan. "Kalau mereka sepakat memprioritaskan keluarga inti, berarti mertua, ipar, dan hal lain harus ditempatkan di urutan kedua atau bahkan kesekian," bilang Chaterine. Sebaliknya, jika orang tua yang dijadikan prioritas utama, juga harus merupakan kesepakatan bersama.
Dengan demikian, tak timbul percekcokan atau saling menyalahkan semisal, "Kamu, kok, enggak pengertian, sih? Tiap ibuku minta sesuatu, kamu selalu ngomel." Hati-hati, lo, Bu-Pak, bisa-bisa pasangan kita akhirnya kirim uang secara diam-diam untuk orang tuanya, semata demi menghindari konflik. Nah, ini, kan, bukan solusi yang tepat. Malah, bukan tak mungkin kejadian ini bikin kita makin benci sama mertua dan menyalahkannya, "Gara-gara mertua enggak tahu diri, suamiku jadi nggak jujur lagi." Padahal, si mertua nggak salah apa-apa, kan?
Tentu, kesepakatannya juga termasuk dalam hal apa saja bantuan perlu diberikan, seberapa sering membantunya, dan berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk bantuan tersebut.

MEMAKSA DIRI BERHUTANG
Sayangnya, lantaran konsep balas budi sudah sedemikian melekat, anak sering tak tega menolak permintaan orang tua, hingga akhirnya melanggar kesepakatan-kesepakatan semula. Misal, "Enggak apa-apa, deh, kita turuti permintaannya. Saya khawatir umurnya nggak panjang. Nanti kalau keburu dipanggil, kita malah nyesel kalau nggak sempat membelikan apa yang diinginkannya." Padahal, pembenaran semacam ini sungguh enggak tepat.
"Bila kondisi keuangan terbatas, misal, bisa-bisa si anak malah memaksakan diri berhutang untuk memenuhi permintaan orang tuanya," tutur Catherine. Kalau sudah begitu, istri/suami dan anak-anaknya mesti hidup ngirit, sementara ia pun harus mati-matian putar otak cari tambahan agar bisa melunasi utangnya. Nah, ini, kan, enggak betul. Juga bisa bikin suam-istri "perang", terlebih jika si istri yang berutang dan si suami yang harus menanggung akibatnya dengan kerja mati-matian untuk melunasi utang tersebut.
Lagi pula, ngebela-belain berhutang hanya agar dibilang berbakti, jelas melenceng dari tujuan semula. Soalnya, yang dimaksud tanda bakti itu, kan, bukan berdasarkan utang. Itu sebab, keputusan untuk memenuhi permintaan orang tua/mertua, jangan sekadar menurutkan kondisi emosional, melainkan betul-betul dipikirkan dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Misal, seberapa penting arti barang yang diminta itu bagi mertua, hingga perlukah kita meluluskan permintaan tersebut. Selain pertimbangan apakah pemberian tersebut masih terjangkau atau tidak.
Tentu kita harus pula mempertimbangkan skala prioritas yang sudah disepakati. Dengan begitu, kita tak bakal terkecoh untuk memenuhi permintaan orang tua/mertua yang memang tak perlu. Misal, mereka minta dibelikan parabola padahal TV di rumahnya cuma berukuran seadanya dan tergolong usang.
Lain hal jika permintaan mereka bisa dikategorikan kondisi mendesak atau darurat semisal sakit keras, pasti butuh pertimbangan khusus. Malah, tanpa diminta pun, sudah sepantasnya kita mengirimkan bantuan. Soal jumlahnya, lagi-lagi amat tergantung kemampuan keuangan keluarga. Jika memang tak mencukupi, jangan segan untuk membicarakan dan mencari jalan keluarnya bersama saudara atau ipar-ipar.

JELASKAN PADA MERTUA
Di sisi lain, orang tua/mertua seyogyanya harus pula menerima kenyataan bahwa anaknya sudah menikah dan punya tanggung jawab sendiri dalam keluarganya. Hingga, kalaupun tanda bakti sudah mengakar, janganlah ngotot ingin diprioritaskan oleh anak-menantunya semisal minta ini-itu yang harganya diluar jangkauan kemampuan anak-menantu.
Untuk itu, tak ada salahnya orang tua/mertua diajak membumi, tanpa mengurangi rasa hormat kita pada mereka. Yang perlu kita lakukan, menyadarkan mereka bahwa membesarkan anak merupakan kewajibannya selaku orang tua, bukan suatu bentuk kemurahan hati yang harus dibalas. Hingga, kita jadi tak terbelenggu oleh perasaan berutang budi dan tak perlu pula merasa merasa bersalah jika tak mampu memberi. Dengan begitu, kita pun memberinya lebih karena dorongan ingin memberi, bukan lantaran terpaksa. Selain, kita jadi tak merasa rikuh ketika harus menolak permintaan beliau.
Namun, cara bicaranya harus hati-hati, ya, Bu-Pak. Jangan sampai orang tua/mertua merasa tersinggung. "Pandai-pandailah memilih kata dan cara bicara yang pas untuk mereka," anjur staf pengajar tak tetap di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta, ini. Misal, "Memang enaknya punya parabola, ya, Ma, tapi harganya mahal sekali. Lagi pula, sekarang, kan, sudah banyak chanel TV." Atau, kala beliau mengeluh yang menjurus pada permintaan, cukup dengarkan saja dan tanggapi sambil lalu tanpa menebar harapan, semisal, "Oh, ya, tetangga sebelah sudah punya parabola? Nanti, deh, kita beli kalau dapat undian berhadiah."
Jikapun beliau tersinggung, pesan Catherine, tak perlu kelewat dirisaukan. "Enggak apalah sesekali beliau tersinggung. Masa, sih, kita harus nyeneng-nyenengin terus, sementara kondisi keuangan kita morat-marit." Atau, alihkan saja permintaannya dengan membelikan barang yang lebih terjangkau dan lebih cocok untuknya. Soalnya, orang tua kerap memakai "senjata" dengan permintaan yang "aneh-aneh" hanya sekadar ingin minta perhatian. Selain, tak jarang orang tua/mertua sebetulnya cuma mau pamer. Sering, kan, kita dengar ungkapan, "Ini, lo, aku dibelikan parabola sama anakku yang tinggal di Jakarta." Jadi, pahami betul ya, Bu-Pak, apa motivasi mertua saat meminta sesuatu. Bagaimanapun, kitalah yang harus mengerti karena mereka yang berangkat menuju usia tua, biasanya berbalik seperti kanak-kanak kembali.
Nah, sekarang sudah ketemu solusinya, kan? Nanti, kalau kita jadi mertua harus ingat, lo; jangan minta macam-macam sama anak-menantu.

JANGAN "MENYUAP" MERTUA
Dalam seminar Lebih Irit = Lebih Boros beberapa waktu lalu di Jakarta, psikolog Rieny Hassan memberikan tips berikut:
* Berani bersikap tegas untuk berkata "tidak" bila permintaan mertua sudah kita anggap diluar batas kemampuan maupun etika hidup berumah tangga.
*Tak perlu malu mengatakan bila memang kita harus kerja keras menabung dulu untuk membeli rumah sendiri atau mencukupi kebutuhan utama lainnya.
*Batasi segala bentuk bantuan untuk mertua. Tekankan pada mertua, berkurangnya "derma" tak berarti berkurangnya bakti kita pada mereka.
*Biarkan pula mertua belajar untuk tak menganggap keluarga anak dan menantu sebagai tempat mengeruk rezeki.
*Biarkan pula mertua memahami bahwa bantuan tak harus selalu berbentuk uang, tapi bisa saja berupa perhatian.
* Bila memang ingin memberi bantuan, kita harus benar-benar iklas. Jangan pernah marah, menggerutu atau mengumpat, apalagi menyesal.
* Biasakan seluruh anggota keluarga untuk tak membebani hidup pada orang lain atas nama kekerabatan/keluarga besar atau dalih apa pun.
* Jangan mengharuskan diri menjadi menantu yang baik dengan cara "menyuap" mertua.

TAK MENDIDIK ANAK
Hati-hati, lo, Bu-Pak, bila kita terbiasa mengalah pada keinginan mertua tanpa berpegang pada skala prioritas, akan berdampak buruk buat anak. "Anak tak akan belajar menangkap hal-hal positif bila kita terbawa arus memenuhi kebutuhan sekunder orang tua atau mertua, sementara kebutuhan primer keluarga inti terlalaikan," tutur Catherine. Nah, ini, kan, sama sekali tak mendidik anak karena ia tak bisa melihat prioritas orang tuanya dengan jelas.

KENAPA, SIH, MERTUA DAN MENANTU PEREMPUAN SUKA KONFLIK?
Psikolog Ieda Poernomo Sigit Sidi mengakui, hubungan mertua dengan menantu perempuan memang rentan konflik. Soalnya, banyak sekali urusan sehari-hari dan kebiasaan hidup yang tersangkut paut di situ. Namun pada dasarnya, hubungan mertua-menantu ditentukan oleh pandangan orang tua terhadap anak. "Yang menganggap anak sebagai amanah tentu akan mendidik anak mereka sebaik mungkin tanpa pamrih. Yang mereka perbuat semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab terhadap Sang Pencipta." Tak demikian bila orang tua menganggap anak sebagai "investasi", "mereka inilah yang biasanya bakal menimbulkan masalah dalam rumah tangga si anak."
Di sisi lain, menantu juga suka berprasangka buruk terhadap mertua, hingga makin mempertajam konflik. Kala mertua bermaksud baik mengulurkan bantuan, misal, si menantu malah mengartikannya sebagai bentuk campur tangan, sikap sok tahu atau sok ngatur dan mengekang kebebasan. Belum lagi persepsi dan opini masyarakat yang terlanjur salah kaprah, hingga hubungan menantu-mertua seolah-olah ajang persaingan yang tak pernah berakhir.
Nah, baik menantu maupun mertua harusnya sama-sama mampu bersikap bijak; minimal tahu menempatkan diri dan berusaha memahami orang lain. Jadi, daripada kita pusing terus-menerus gara-gara sikap mertua yang tak menyenangkan, apa nggak lebih baik bila kita berusaha menyesuaikan diri saja? Apalagi hidup, pada dasarnya merupakan proses penyesuaian diri secara terus menerus. Saran Ieda, jangan pernah lelah untuk mengenal dan mengenalkan diri pada orang lain; mengenali mertua dan berusaha mencari titik temu.
Tentu kita boleh melibatkan suami dalam hal ini. Bagaimanapun, kata Ieda, suami memang harus jadi jembatan agar ketidakpuasan istri bisa sampai pada mertua tanpa menyinggung perasaan atau harga diri si mertua. Nah, mengapa tak dibicarakan saja dengan suami mengenai persoalan yang kita hadapi dengan ibunya? Termasuk kebiasaan beliau minta ini-itu. Tentu secara baik-baik, lo.