Jangan pula merasa diri tak berguna lantaran cuma menjadi ibu rumah tangga. Justru dengan status tak bekerja, ibu bisa lebih optimal dalam merawat, mengasuh, dan mendidik sang buah hati.
Bukankah dengan tak bekerja, maka ibu bisa melakukan fungsi keibuannya dengan benar, hingga peluangnya untuk menciptakan situasi ideal bagi proses tumbuh kembang anak akan lebih besar pula?
Apalagi, seperti dikatakan psikolog Rieny Hassan, attachment berupa belaian dan sentuhan-sentuhan fisik sangat dibutuhkan anak, terutama pada masa-masa awal kehidupannya. "Lewat sentuhan-sentuhan ini akan tercipta kehangatan, kedekatan, kenyamanan sekaligus memperkokoh basic trust anak," terangnya.
Jangan lupa, di usia-usia awal, si kecil sama sekali belum bisa berpikir tentang konsep-konsep kasih sayang yang abstrak. Misal, tentang penerimaan ibu. "Apa anak ngerti bahwa ia disayang kalau tak pernah dibelai atau digendong ibunya? Kan, enggak." Atau, bagaimana ibu bisa betul-betul menunjukkan ekspresi kecintaan dan rasa sayangnya bila lebih banyak bersibuk diri di luar rumah dan mencurahkan perhatian buat kariernya?
"Akan berbeda sekali, lo, hasilnya bila ibu hanya sesekali menyempatkan waktu menelepon dari kantor dan menanyakan, 'Apa kabar, Sayang?' atau sekadar bertanya, 'Sudah makan belum?' tanpa tahu persis bagaimana dan seberapa banyak porsi makannya."
Tapi coba kalau ibu tak bekerja, anak akan betul-betul merasa diperhatikan saat ia memperlihatkan "keberanian"nya memanjat, misal, atau justru saat menangis karena terjatuh. "Anak pun biasanya akan lebih berselera makan bila didampingi dan disemangati ibunya, 'Aduh, anak Mama pintar, ya, sudah bisa makan sendiri," lanjut lulusan Fakultas Psikologi UI ini.
TERGANTUNG PANDANGAN SI IBU
Sebenarnya, tutur Rieny, positif-negatifnya pandangan orang terhadap status ibu tak bekerja, sangat ditentukan oleh pandangan si ibu sendiri; apakah yang bersangkutan menilai keberadaannya bermanfaat atau tidak bagi perkembangan anaknya. "Kalau secara sadar memutuskan menjadi ibu rumah tangga sejati, biasanya ia akan mengoptimalkan kehadirannya di tengah keluarga. Karena ia tahu benar, ada banyak hal yang bisa dilakukannya untuk kebaikan proses tumbuh kembang anak."
Soalnya, bukan cuma kebutuhan attachment yang harus dipenuhi, tapi proses tumbuh kembang anak pun harus bisa lebih terpantau secara detil. Dalam hal fisik, misal, kelengkapan imunisasi harus dipantau, kesesuaian berat badan, gizi anak, dan sebagainya, sehingga anak lebih sehat dan betul-betul terurus dengan baik.
"Jikapun ada keluhan atau gejala penyakit, bisa lebih cepat ketahuan dan tertangani karena ibu lebih kerap berada bersama anak." Nah, dengan kondisi anak yang membanggakan ini, secara tak langsung sebenarnya ibu juga sudah melakukan penghematan karena tak harus mengeluarkan biaya berobat atau bolak-balik membawa anak ke dokter, kan?
Jadi, tak perlu malu, ya, Bu. Lakonilah dengan tulus dan berikan yang terbaik untuk anak serta keluarga. Apalagi itu, kan, sudah menjadi pilihan Ibu; apapun alasannya, entah atas keinginan sendiri, "dipaksa" suami, atau lantaran ketidakmampuan pribadi, dan alasan lainnya. Ingat, lo, bagaimana pandangan kita tentang "profesi" ibu rumah tangga, maka seperti itulah pandangan orang lain terhadap diri kita.
CARI KEGIATAN
Bahwa sebagai ibu rumah tangga akan lebih cepat menemukan kebosanan, memang tak dapat disangkal bila yang bersangkutan tak pandai menciptakan sesuatu yang bermanfaat buat dirinya. Dengan kata lain, kalau enggak kreatif, ya, jelas saja akan mudah bosan, Bu. Apalagi, ujar Rieny, "untuk mengisi kehidupan selalu ada kegiatan yang bisa dikerjakan dan tak harus dalam bentuk uang, kan?" Jadi, bohong besar, ya, Bu, kalau orang bilang ibu-ibu di rumah enggak ada kerjaan.
Nah, salah satu cara untuk mencegah atau mengatasi kebosanan di rumah dengan menggali bakat terpendam yang kita punya. Kalau sewaktu remaja suka menjahit, misal, nah, mengapa sekarang tak dilakukan lagi? Atau, bila suka memasak, kan, bisa mencoba aneka resep baru dari buku atau majalah maupun TV dan radio.
Siapa tahu dari situ merupakan awal berbisnis kecil-kecilan yang akhirnya berkembang jadi besar? Apalagi jika salah satu "keberatan" kita tak bekerja lantaran tak punya penghasilan sendiri. Nah, dengan cara ini, kan, jadi bisa "pegang" uang sendiri lagi. Awalnya, toh, bisa dengan menawarkan jasa pada tetangga ataupun kenalan baik. Tak sulit, kan? Jangan salah, lo, dengan berwiraswasta seperti ini, penghasilan kita bisa 4 kali lipat dari gaji orang kantoran!
Selain melakukan hobi -yang bisa berkembang jadi bisnis gede, ibu rumah tangga pun tak "haram" untuk bersosialisasi alias bergaul.
Sekalipun kita enggak punya teman sama sekali, misal, kita tetap bisa, kok, melakukannya. Yang paling gampang, ikut kegiatan di lingkup keagamaan seperti mengaji, kegiatan sosial di gereja, atau aktif di lingkungan RT/RW semisal arisan. Asal jangan digunakan buat ngerumpi yang enggak ada manfaatnya, ya, Bu. Begitupun dengan aktivitas lain semisal kursus toastmaster, melukis, kursus aneka kerajinan atau memperlancar kemampuan bahasa lewat conversation, dan sebagainya.
Pokoknya, saran Rieny, nikmati dunia kita dan jangan pernah menjadikan "profesi" kita sebagai beban. "Pasti ada, kok, yang bisa memberi warna pada hidup agar tak berjalan monoton," tukasnya.
BERMAIN DENGAN ANAK
Satu kelebihan lagi yang perlu disadari, dengan tak bekerja, kita jadi punya waktu lebih banyak untuk bermain dengan anak. Masih ingat, kan, para ahli kerap menganjurkan agar orang tua ikut terlibat dalam permainan anak. Bukankah dunia anak adalah dunia bermain dan anak mengalami proses belajar lewat bermain?
Nah, dengan ibu kerap mendampinginya selagi bermain, ia tak hanya sekadar bermain dalam arti sebenarnya, juga akan membantunya mengembangkan keterampilan motorik kasar-halusnya, dan mempelajari segala hal mengenai kehidupan ini.
Ada banyak permainan yang bisa dilakukan bersama anak. Bahkan sejak si kecil berusia bayi pun, kita bisa bermain bersamanya semisal bermain ciluk-ba, menyusun balok, bermain bola, dan sebagainya. Begitupun menggambar, bermain pasir, membuat aneka bentuk dari lilin, dan sebagainya.
Mengajak anak berjalan-jalan ke taman bermain atau pergi ke suatu mal, juga bisa menjadi ajang permainan yang menarik buat anak dan pembelajaran yang sarat manfaat untuknya. Bahkan, kala kita memasak atau mencuci pun, bisa menjadi "arena bermain" dan belajar yang menyenangkan. Tak peduli si kecil anak perempuan atau lelaki, melibatkannya ke dalam aktivitas yang berbau gender enggak masalah, kok.
Nah, bila si ibu bekerja, maka ia tak akan bisa melakukannya semaksimal mungkin. Paling cuma Sabtu dan Minggu, itupun belum tentu maksimal karena masih harus dibagi lagi dengan aktivitas pribadi, misal. Jikapun ada waktu menemaninya bermain sepulang kerja, paling cuma sebentar karena ia tentunya sudah lelah setelah seharian berkutat dengan urusan pekerjaan di kantor. Jadi, enggak ada ruginya, kan, menjalani "profesi" sebagai ibu rumah tangga? Apalagi dengan kerap bermain bersama anak, juga akan menambah kedekatan ibu dan anak, lo.
Tak hanya itu, setelah si kecil "sekolah", ibu juga bisa lebih maksimal memberinya perhatian. Terutama kala ia baru mulai masuk "sekolah", bukankah ini saat paling penting dalam kehidupan seorang anak? Nah, kita bisa mengantarkannya dan bahkan menungguinya di luar kelas tanpa harus pusing memikirkan anak buah di kantor tengah menanti-nantikan kita, misal. Begitu pun saat si kecil beranjak besar, ia akan lebih diuntungkan dengan kehadiran ibu yang tak bekerja.
Setidaknya, ia bisa menjadikan ibu sebagai tempat bertanya bila menemui kesulitan dalam pelajaran. Coba kalau ibu bekerja, apalagi sampai malam, bukan tak mungkin ia akan bingung tak tahu harus bertanya pada siapa karena yang ada di rumah cuma pembantu. Ibu pun jadi punya waktu untuk "belajar" lagi bila tak mengerti materi pelajarannya, entah dengan mengikuti program buat para orang tua murid yang diadakan sekolah maupun lewat kursus-kursus.
Pendeknya, nggak ada yang dirugikan, kok, dengan ibu tak bekerja; baik diri si ibu sendiri, terlebih lagi anak dan keluarganya. Nah, sekarang sudah lebih enteng, kan, Bu, menjalani hari-hari sebagai ibu rumah tangga sejati?
TAK PERLU IRI, BU
Apakah Anda mendambakan bisa bergegas setiap hari berangkat ke kantor, berpenampilan menarik dengan blazer apik, punya kartu nama, dan mengandalkan HP untuk berkomunikasi? Bila demikian bayangan Anda mengenai dunia kerja, Anda perlu meluruskan lagi pengertian "kerja" itu sendiri. "Nggak harus selalu di kantor, kok. Yang penting, dia punya kegiatan dan tak membuang waktu begitu saja. Jadi, ada sesuatu yang berguna atau bermanfaat," terang Rieny. Nah, dengan definisi ini, bukankah "profesi" ibu rumah tangga juga sangat membanggakan?
Menjadi orang kantoran juga enggak selalu enak, kok, Bu. Tak jarang pekerjaan membuat orang begitu terserap waktu dan pikirannya, hingga saat tiba di rumah yang ada cuma rasa lelah dan keinginan untuk marah-marah tanpa sebab. Akibatnya, anak-anak bisa menjadi sasaran ketidakdewasaan dan ketakmampuan ibu menyelesaikan masalahnya di kantor. Padahal, orang yang bekerja dituntut memiliki kedewasaan, dan kestabilan emosi tersendiri agar mampu memilah-milah konsentrasi dan beban kerja. Jadi, "kalau beban kerja sampai terbawa ke rumah, berarti, kan, dengan bekerja malah menciptakan masalah baru. Sama aja boong, dong!" Kalau sudah begitu, bukankah memang lebih "aman" bila ibu menempatkan kepentingan anak sebagai prioritas alias di rumah saja menjalani "profesi" sebagai ibu rumah tangga sejati?
Jadi, Bu, tak perlu iri, ya, dengan mereka yang kebetulan bisa "pegang" uang sendiri dari hasil keringatnya. Justru kita perlu belajar dari mereka bagaimana menghargai dan membelanjakan uangnya dengan bijak. Di mata Rieny, para ibu yang kondisinya mengharuskan bekerja, umumnya memang lebih bisa menghargai uang, disamping juga lebih leluasa menggunakannya. Soalnya, mereka tahu persis mencarinya enggak mudah, sementara taruhan yang harus dibayarnya cukup mahal, yakni meninggalkan anak.
BERPELUANG MENCIPTAKAN KELUARGA MANDIRI
Konon, ibu bekerja memiliki anak yang mandiri dan berwawasan lebih luas. Menurut Rieny, belum tentu. "Memang anak bisa terkondisi untuk lebih kreatif dan mandiri bila ibu tak ada. Tapi kalau setiap hari ibu di kantor heboh menelepon pembantu di rumah untuk membantu anak mengambilkan dan menyiapkan segala keperluan anak, berarti secara tak langsung ibu mengajari anaknya tergantung pada pembantu. Jadi, enggak mandiri, juga, kan?" paparnya.
Belum lagi ibu-ibu bekerja yang tingkat kekhawatirannya begitu tinggi lantaran tak melihat langsung apa dan bagaimana anaknya sehari-hari sepeninggalnya. "Akhirnya, si ibu, kan, jadi kelewat melindungi anaknya," lanjut Rieny. Atau, karena ibu merasa bersalah telah meninggalkan anaknya untuk bekerja lantas berusaha "membayar"nya dengan berbagai bentuk kemanjaan. "Bila demikian, kan, sama sekali enggak membantu." Jadi, sama aja boong, ya, Bu.
Tak demikian halnya dengan ibu rumah tangga sejati, "justru peluangnya besar sekali untuk menciptakan keluarga mandiri yang tak perlu dipusingkan oleh ulah pembantu." Bukankah dengan membiasakan anak membantu ibu bekerja, maka anak pun akan terlatih bersikap mandiri? Menurut Rieny, semakin mandiri suatu rumah tangga, semakin besar peluangnya untuk bahagia. Pasalnya, setiap anggota keluarga sudah saling bisa mengerti dan memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga ketergantungan mereka pada "orang luar" semakin kecil. Nah, satu lagi kelebihan menjalani sebagai ibu rumah tangga sejati, ya, Bu.
TAK USAH PUSING SOAL KESETARAAN
"Kenapa, sih, harus dipermasalahkan?" tanya Rieny. Menurutnya, kalau suami sudah mengatakan, "Aku saja yang bekerja karena tugasmu di rumah ngurus anak dan rumah tak tergantikan oleh babysitter maupun pembantu,", berarti sebagai istri, kita mendapat reward dari suami. "Mestinya nggak perlu merasa minder, dong, hanya karena statusnya cuma ikut suami."
Sebenarnya, tutur Rieny, bukan soal istri bekerja atau tidak tapi bagaimana suami menganggap kedudukan istri, apakah sebagai mitra sejajar atau lebih inferior buat dia. Malah ada, lo, suami yang menganggap istrinya sebagai investasi lantaran bisa mendatangkan uang. "Istri dianggapnya sebagai objek untuk membantu meringankan beban dan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah." Nggak sedikit, lo, suami model begini. Berbeda dengan suami yang menganggap istrinya sebagai mitra, "bekerja atau tidak, si istri pasti dihargai dan dilibatkan dalam membuat keputusan."
Nah, bagaimana dengan suami Anda, Bu? Tapi tentunya untuk memiliki suami yang memandang istri sebagai mitra tak bisa dilepaskan pada konsensus awal. Jadi, harus dibicarakan sejak jauh-jauh hari, ya, Bu.
IBU TAK BEKERJA TAPI MEMBLE
Memang, aku Rieny, dengan ibu tak bekerja bukan jaminan si anak akan memperoleh yang terbaik. Ambil contoh ibu-ibu yang lantaran situasi memaksanya tak bekerja, hingga enerjinya lebih banyak terbuang hanya untuk berandai-andai dan menyesali diri, "Duh, mestinya, kan, aku bisa ketemu banyak orang dan bukan terkurung di rumah." Ibu-ibu seperti ini, "lebih banyak menghabiskan waktunya di depan TV menyaksikan telenovela atau jalan-jalan ke mal." Padahal, "ongkos" sosialisasi mereka biasanya justru lebih tinggi karena sulit mengerem kebiasaan dan keinginan berbelanja ini-itu yang bukan merupakan kebutuhan primer atau keperluan mendesak. "Biasanya ibu-ibu model ini justru bingung bagaimana caranya menghabiskan uang suami!"
Tak sedikit pula istri yang mematuhi larangan suami untuk tak bekerja hanya karena tak terbiasa protes atau dengan pertimbangan ingin membahagiakan suami. Bila demikian, "secara psikologi, perkawinan semacam ini sudah enggak sehat." Soalnya, istri model ini biasanya akan menyalurkan ambisinya lewat anak. "Anak dituntut harus selalu jadi nomor satu di sekolah, harus les ini-itu, dan ikut kegiatan segala macam yang akhirnya malah menjadi beban buat si anak."
Jadi, Bu, kalau memang tak bekerja sudah merupakan pilihan, terlepas apapun alasannya, kita memang harus menjalaninya tanpa beban. Kasihan si kecil, kan, kalau ia harus jadi "korban". Padahal, ia enggak salah apa-apa, lo.
sumber : http://www.tabloidnova.com