Welcome...Thanks for your visit....
Blog ini berisi informasi seputar Bayi, Balita, Batita, Kehamilan, Ibu Menyusui, Keluarga, Kesehatan, Kuliner, dll
--- Scroll ke bawah utk melihat Index atau Klik Tab2 dibawah ini ...

Saturday, February 19, 2011

Kenapa, Sih, Marah-Marah Terus?


Menyebalkan, ya, punya pasangan pemarah? Sayang, kita tak bisa berharap ia akan berubah karena si pemarah biasanya tak mau mengakui kalau dirinya pemarah. Apa yang harus kita lakukan?
Konon, orang-orang pemarah memang sudah dari sononya begitu. Pendapat ini ada benarnya karena unsur bawaan memang berperan dalam pembentukan kepribadian seseorang. Namun disamping bawaan, masih ada unsur lain, yaitu lingkungan. Jadi, kendati seorang anak diwariskan sifat pemarah oleh ayah atau ibunya, tapi jika ia dibesarkan di lingkungan yang penuh dengan orang-orang penyabar, ia takkan berkembang jadi pemarah. Namun bila ia dibesarkan oleh orang-orang yang juga "hobi" marah-marah, jadilah ia si pemarah.
Ibarat anak yang berbakat melukis tapi orang tuanya tak menyediakan alat-alat lukis atau memasukkannya ke kursus/sanggar lukis, maka potensinya itu takkan muncul ke permukaan. Sebaliknya, meski si anak dileskan melukis pada pelukis ternama, tapi jika ia memang tak tertarik sedikit pun, ia takkan pernah bisa menghasilkan sebuah lukisan sebagaimana yang diharapkan. Lain hal jika ia memang berminat dan sarana serta fasilitasnya pun ada, tentu potensinya akan berkembang optimal.
Jadi, tegas Dr. Johanes Riberu, memang mesti ada dua unsur tadi. "Seseorang punya sifat pemarah karena ada sedikit bakat, tapi juga dikembangkan terutama dari lingkungan," terang pakar pendidikan ini.

DATANG DARI KEBUTUHAN
Dalam ilmu psikologi, terang Riberu lebih lanjut, marah merupakan salah satu bentuk basic emotion (emosi dasar), sama halnya dengan bahagia, sedih, kesal, atau jenis emosi lainnya. Berdasarkan penelitian, emosi datang dari kebutuhan atau istilah psikologinya, down motivation. "Jadi, down motivation inilah yang menentukan emosi manusia, termasuk marah," tegasnya.
Mekanismenya, kita punya suatu kebutuhan tapi tak terpenuhi hingga timbullah ketegangan batin atau frustrasi. Ketegangan batin/frustrasi ini akan dikeluarkan, tapi seperti apa bentuknya, akan berbeda-beda pada tiap orang. Ada yang jadi murung, sedih, atau malah marah meledak-ledak. Nah, pada si pemarah, pasti ia akan mengeluarkan frustrasinya dalam bentuk kemarahan, dong.
Kebutuhan itu sendiri ada bermacam-macam: kebutuhan fisiologis seperti makan dan tidur; kebutuhan psikologis, misal dihargai, dicintai, dipahami, dan lainnya; serta kebutuhan seksologis. Jadi, kala si pemarah butuh makan, misal, tapi makanan belum tersedia, ia langsung naik pitam. "Namun biasanya, marah lebih disebabkan kebutuhan psikologis yang tak terpenuhi semisal ingin dihargai tapi tak dihargai."

BISA DIKENDALIKAN
Nah, karena marah datang dari kebutuhan yang tak terpenuhi, maka untuk mengendalikannya kita perlu tahu kebutuhan apa saja yang membuat kita begitu mudah mengumbar amarah. Namun untuk bisa mengetahuinya diperlukan EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosional, yang salah satu unsurnya adalah inteligensi intrapersonal (kemampuan melihat gejolak emosi di dalam diri).
"Jika orang bisa melihat ke dalam dirinya sendiri, maka ia akan dengan gampang meredakan amarahnya," kata Riberu. Caranya, akui dulu bahwa kita memang pemarah, baru kemudian lihat ke dalam diri. Misal, saat hendak marah, tubuh kita gemetar. Bukankah sebelum marah datang biasanya ada tanda-tanda yang bisa dikenali? Nah, dengan mengenali tanda-tanda tersebut, ketika suatu saat tanda itu muncul, kita langsung tahu bahwa kita akan marah, "Wah, saya sudah mulai marah, nih." Selanjutnya, refleksi apa saja yang menyebabkan kita marah. Misal, saya marah ketika pasangan saya tak segera menjawab apa yang saya harapkan; saya marah ketika dia cuek saja saat saya ajak bicara; saya marah tiap kali dia menolak ajakan saya untuk berhubungan intim, dan sebagainya.
Bila kita punya inteligensi personality yang tinggi, menurut Riberu, kita akan lebih mampu mengendalikan amarah. Jadi, sebelum amarah meledak, kita sudah bisa meredakannya sendiri. Kendati sebenarnya tiap orang mampu melihat apa saja yang membuatnya marah dari pengalaman, hingga mampu pula meredakan amarahnya. "Masa, sih, selama 35 tahun kita hidup, misal, kita tak tahu apa saja yang bisa membuat kita marah?" ujar konselor perkawinan ini. Kita juga akan tahu sampai di mana diri kita sedang bergejolak: masih dini atau sudah memuncak.
Jikapun kita masih juga tak mampu meredakan amarah meski sudah tahu apa penyebabnya, saran Riberu, komunikasikan dengan pasangan untuk mengungkapkan isi hati.
Bukankah komunikasi dipercaya mampu mengatasi banyak hal? Bahkan konflik pun bisa diatasi lewat komunikasi, apa lagi perasaan-perasaan terpendam antara suami-istri. "Keunggulan komunikasi adalah bisa menciptakan suatu keadaan yang disebut katarsis. Maksudnya, seseorang jadi merasa lega karena sudah mengungkapkan unek-unek, walaupun tak ada penyelesaian masalah." Misal, suami ditegur habis-habisan oleh bosnya. Di rumah, ia ceritakan pada istrinya. Meski si istri tak bisa memberikan solusi, tapi si suami akan merasa lebih baik karena kemarahan dan kedongkolannya tak dipendam sendiri hingga bebannya jadi lebih ringan.

DUKUNGAN PASANGAN
Sayangnya, banyak orang tak sadar dirinya pemarah. Praktis, kita tak bisa berharap dia mau mengakui kalau dirinya pemarah, apalagi mengendalikan amarahnya. "Tipe seperti inilah yang biasanya bikin sebel pasangan," bilang Riberu. Kalau sudah begitu, biasanya kita juga jadi ikut marah, ya, Bu-Pak. Padahal, cara ini tak menyelesaikan masalah. Kata pepatah, kalau seseorang melempar batu, kita jangan pula melempar batu. Artinya, emosi jangan dibalas dengan emosi. Bukankah keadaan jadi makin keruh kalau kita ikut meledak-ledak juga?
Lagi pula, si pemarah yang tak menyadari dirinya pemarah ini perlu bantuan orang lain untuk mengingatkan dirinya. "Tentu ini tak mudah karena tiap orang pasti punya mekanisme bela diri pada hal-hal yang membuatnya merasa tersudut. Pada posisi seperti itu, biasanya ia tak bisa menerima atau mengakui pendapat orang lain." Jadi, jangan heran kalau dengan enteng dia akan berkomentar, "Lo, siapa yang pemarah?" tiap kali kita minta ia mengurangi sifat pemarahnya.
Namun sosok yang mengingatkan haruslah orang yang sudah akrab dengannya. Kalau tidak, jangan harap ia mau bersikap terbuka apalagi menerima pendapat orang tersebut. Nah, di sinilah peran kita sebagai pasangannya. Bukankah antara suami dan istri harusnya ada keakraban? Hingga, komunikasi pun bisa berlangsung efektif karena masing-masing mampu dan bersedia membuka diri pada pasangannya, serta menerima pendapat pasangannya.
Soalnya, salah satu ciri dari keakraban adalah keterbukaan alias tak main sembunyi-sembunyi, termasuk membuka ganjalan hati dan kekurangan masing-masing.
"Kalau antar suami-istri sudah terbuka, itu sangat bagus, karena berarti masing-masing sudah saling percaya," kata Riberu. Hingga, kala kita bilang, "Kamu, kok, sering marah-marah? Ada apa, sih?", pasangan pun mau mendengarkan. Bahkan, tambahnya, sekalipun suami-istri sama-sama pemarah, tak perlu khawatir rumah tangga bakal pecah. Asalkan keakraban sudah terbina di antara mereka dan masing-masing pun mau mengakui dirinya memang pemarah, hingga solusi bisa dicari bersama-sama. Mungkin memang tak enak, tapi menurut Riberu, "lebih baik marah lalu diungkapkan daripada marah lalu berdiam diri. Ditanya apa saja tetap diam sampai berhari-hari. Ini malah enggak bagus karena tak ada katarsis."
Celakanya, mayoritas di antara kita, terutama wanita, justru cenderung melakukan kesalahan ini. "Ketika ada clash, malah tak mau berkomunikasi." Padahal, kemarahan yang dipendam akan terakumulasi alias menumpuk bisa menjadi bom yang sewaktu-waktu meledak. Jadi, Pak, saran Riberu, jika tahu Ibu termasuk tipe ini, "Anda harus mulai mengajak bicara." Sebaliknya, Bu, pesan Riberu, "kalau marah jangan dipendam lama-lama, keluarkan saja."

SI KECIL JADI PUNYA GAMBARAN TIPE PASANGAN IDEAL
Para ahli selalu menganjurkan, kalau marah dengan pasangan jangan di depan anak karena berdampak buruk buat perkembangan anak. Ini bener, lo. Terlebih jika si kecil punya bakat tak suka bergaul. "Kalau setiap hari yang tersaji di depan matanya cuma pertengkaran melulu, minimal dalam dirinya akan terbentuk gambaran buruk tentang keluarga, 'Oh, yang namanya keluarga itu kerjaannya cuma ribut dan berantem terus.' Akhirnya ketika dewasa nanti, mungkin berpacaran pun dia tak mau," tutur Riberu.
Apalagi, anak balita, kan, pola pikirnya masih sederhana hingga belum bisa diajak bicara yang rumit-rumit semisal persoalan rumah tangga. "Ia belum dapat berargumentasi ketika kita jelaskan mengapa ayah marah ibu atau ibu marah pada ayah.
Ia hanya bisa melihat, lalu kejadian itu direkam dalam memorinya dan diolah sendiri. Nah, ini akan berpengaruh besar bagi pembentukan kepribadian anak."
Yang jelas, Bu-Pak, ada dua sikap akan terbentuk dalam diri si kecil jika tiap hari ia dijejali pertengkaran demi pertengkaran. Pertama, bisa jadi si kecil kelak memutuskan untuk tak bersikap seperti itu, "Saya janji enggak akan seperti Ayah/Ibu." Atau, ia memutuskan untuk tak mencari pasangan hidup seperti sosok ayah/ibunya yang gemar marah-marah. Jadi, sudah terbentuk semacam tipe pria/wanita ideal dan gambaran perkawinan yang diidamkan. Kedua, ya, itu tadi, si kecil malah menuruni sifat orang tuanya yang pemarah.

ALASAN ORANG MENIKAH
Menurut Riberu, ada dua alasan. Pertama, mencari kesesuaian. Jadi, si pemarah akan mencari pasangan yang juga pemarah. Kedua, saling melengkapi. "Nah, yang kedua ini justru mencari pasangan bertolak belakang dengan sifatnya. Misal, si pemarah mencari pasangan penyabar supaya klop atau cocok." Tapi jangan tanya mana yang paling baik atau tepat dari kedua alasan tersebut, karena semuanya tergantung sikap masing-masing, "bisa menerima pasangannya atau tidak."