NATASYA Fabian, 3,5, atau Tasya, selalu sulit untuk menelan makanan, dengan porsi yang tidak banyak. Tasya selalu berhasil menghabiskan makanan satu jam setelahnya. Selain lama dalam menghabiskan makanannya, Tasya juga sudah pintar memilih makanan mana yang dia suka. Sayang, makanan yang dia pilih selalu mi instan. Sementara sayuran sama sekali tak disukainya.
“Saya sudah melakukan berbagai cara. Mulai dari membeli piring lengkap dengan aksesori untuk makan ala tokoh kartun Princess favoritnya, sampai mengajaknya makan di luar. Tetap saja Tasya susah makan,” keluh Tania, ibunda Tasya.
Picky eateratau bisa juga diartikan sebagai kesulitan. Tak hanya itu, anak ‘picky eater’ memiliki kebiasaan yang beragam, seperti memuntahkan atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk di mulutnya, makan berlama-lama (“dikemot”) dan memainkan makanan, tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut, menumpahkan makanan, dan menepis suapan dari orangtua, hanya mau makan itu-itu saja atau makanan cair atau lumat, tidak mau mencoba makanan baru, kesulitan mengisap, mengunyah, menelan (tidak mengunyah, langsung menelan makanan).
Mungkin Tasya bukan satu-satunya anak yang berlabel ”Picky Eater”, banyak anak lainnya yang memiliki sifat seperti ini. Semua orangtua tentu khawatir jika buah hatinya adalah seorang “picky eater”. Selain karena masalah kebutuhan nutrisinya yang dikhawatirkan tidak tercukupi dengan tepat, kebiasaannya ini dikhawatirkan akan memberi dampak negatif.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada perilaku anak menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen orangtua melaporkan anak-anak mereka memiliki kecenderungan masalah makan.
”Jadi, tidak perlu merasa cemas dengan keadaan ini. Karena pada kenyataannya, banyak orangtua yang memiliki masalah pada perilaku pola makan anak,” kata ahli nutrisi dan spesialis metabolisme anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Dr Aryono Hendarto SpA (K) dalam acara “parenting workshop” bertema ”Feeding Guideline and Nutrition Intake for Picky eater-Children” yang diadakan oleh Abbott Indonesia, di Lollypop Senayan City, belum lama ini.
Pada beberapa anak, perilaku “picky eater” memang terjadi dalam periode singkat. Namun, ada pula yang menjadi masalah yang berlangsung terus-menerus. Umumnya perilaku ini dimulai sejak usia 1,5 sampai 5 tahun. Namun pada beberapa studi, perilaku ini terus muncul sampai anak berusia 9 tahun.
Dokter yang akrab disapa Ary ini juga menjelaskan bahwa kekhawatiran orangtua juga kadang suka dibarengi dengan persepsi bahwa anak yang belum makan nasi itu berarti belum makan. Yang lain tidak dianggap karena anak hanya makan camilan. Padahal, makanan seperti sereal, biskuit, chicken sandwich, roti, piza, burger, pancake, yoghurt, kentang rebus, ikan tuna, bisa menjadi makanan yang bergizi untuk anak dengan kandungan yang baik.
Walaupun tidak perlu dikhawatirkan karena “picky eater” banyak dialami anak, namun bukan berarti permasalahan ini bisa dibiarkan. Karena “picky eater” dalam jangka panjang dapat berakibat pada kekurangan nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak, yang akhirnya bisa berdampak pada kemampuan kognitifnya. Anak juga bisa hilang atau gagal menaikkan berat badan, sering terlambat dalam pertumbuhan sebagaimana normalnya, terlihat lesu dan kurang bergairah, serta sering menderita sakit atau infeksi. ”’Picky eater’ harus ditangani sedini mungkin,” tandasnya.
Sebuah penelitian ilmiah menunjukkan bahwa secara persentase, berat badan anak “picky eater” dibanding umurnya berada pada garis kurang dibanding anak yang tidak bermasalah makan. Jadi, jika sudah mengetahui penyebabnya, orang tua dapat mencari solusi tepat untuk hadapi si “picky eating”. Dengan begitu, pola makan anak menjadi baik, nutrisi berupa karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral, tercukupi dan jumlahnya sesuai dan seimbang untuk mendukung tumbuh kembangnya.
”Memastikan kecukupan nutrisi pada anak adalah salah satu cara terpenting yang dapat dilakukan orangtua agar anak bisa tumbuh optimal. Oleh karena itu, penting dilakukan konseling nutrisi serta suplementasi pada anak bermasalah makan yang membutuhkannya untuk memaksimalkan kecukupan nutrisi pada anak,” ungkapnya.
Saat anak memiliki pola “picky eater”, disarankan bagi orangtua untuk tidak memarahi, apalagi dengan memaksa anak untuk terus makan karena akan memperparah keadaannya, tetapi mencari solusi agar anak tidak lagi menjadi “picky eater”.
”Ketika orangtua memaksa anak agar makan lebih banyak karena si kecil mengalami penurunan berat badan, maka pemaksaan tersebut justru dapat membuat mereka kehilangan selera makan,” jelasnya.
Cara yang bisa dilakukan agar anak tidak lagi menjadi “picky eater” misalnya dengan menciptakan suasana yang menyenangkan saat makan. Jika suasana mencekam, maka anak pun tidak mau makan. Selain itu, bisa dilakukan dengan melibatkan anak dengan proses memasak, dimulai dari proses belanja, persiapan, hingga penyajiannya. Anda juga sebaiknya menanamkan edukasi gizi melalui pendampingan di saat santai. Misalnya ketika sedang menonton televisi atau pada waktu bercerita sebelum tidur. Ingatkan pada buah hati bahwa ada zat gizi tertentu yang dibutuhkan tubuh kecilnya untuk bertumbuh.
”Makan itu bukan naluri, tetapi belajar. Jadi, biarkan anak mau makan tanpa harus dipaksa dan jadilah contoh bagi anak dengan makan makanan yang sehat dan pola makan yang benar,” saran Ary.
Orangtua juga bisa mencari sumber informasi untuk mengatasi anak dengan pola “picky eater”. Seperti melalui internet karena di era digital seperti ini, orangtua memiliki kecenderungan mencari informasi dari internet. Mungkin Anda bisa menyambangi laman besutan Abbott Indonesia di www.pickyeating.co.id.
”Semua informasi ini dikembangkan berdasarkan studi sains dan klinik,” tutur Senior Product Manager Abbott Nutrition Indonesia, Erfin Suraida.
Jika sudah mengatasi cara untuk menyiasati pola “picky eater”, maka lakukan evaluasi kecukupan gizi pada anak. Bukan dalam waktu sehari, tetapi dalam jangka waktu per bulan. Ingat bahwa perilaku makan anak tidak akan berubah dalam satu hari atau satu malam.
“Saya sudah melakukan berbagai cara. Mulai dari membeli piring lengkap dengan aksesori untuk makan ala tokoh kartun Princess favoritnya, sampai mengajaknya makan di luar. Tetap saja Tasya susah makan,” keluh Tania, ibunda Tasya.
Picky eateratau bisa juga diartikan sebagai kesulitan. Tak hanya itu, anak ‘picky eater’ memiliki kebiasaan yang beragam, seperti memuntahkan atau menyembur-nyemburkan makanan yang sudah masuk di mulutnya, makan berlama-lama (“dikemot”) dan memainkan makanan, tidak mau memasukkan makanan ke dalam mulut, menumpahkan makanan, dan menepis suapan dari orangtua, hanya mau makan itu-itu saja atau makanan cair atau lumat, tidak mau mencoba makanan baru, kesulitan mengisap, mengunyah, menelan (tidak mengunyah, langsung menelan makanan).
Mungkin Tasya bukan satu-satunya anak yang berlabel ”Picky Eater”, banyak anak lainnya yang memiliki sifat seperti ini. Semua orangtua tentu khawatir jika buah hatinya adalah seorang “picky eater”. Selain karena masalah kebutuhan nutrisinya yang dikhawatirkan tidak tercukupi dengan tepat, kebiasaannya ini dikhawatirkan akan memberi dampak negatif.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada perilaku anak menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen orangtua melaporkan anak-anak mereka memiliki kecenderungan masalah makan.
”Jadi, tidak perlu merasa cemas dengan keadaan ini. Karena pada kenyataannya, banyak orangtua yang memiliki masalah pada perilaku pola makan anak,” kata ahli nutrisi dan spesialis metabolisme anak dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Dr Aryono Hendarto SpA (K) dalam acara “parenting workshop” bertema ”Feeding Guideline and Nutrition Intake for Picky eater-Children” yang diadakan oleh Abbott Indonesia, di Lollypop Senayan City, belum lama ini.
Pada beberapa anak, perilaku “picky eater” memang terjadi dalam periode singkat. Namun, ada pula yang menjadi masalah yang berlangsung terus-menerus. Umumnya perilaku ini dimulai sejak usia 1,5 sampai 5 tahun. Namun pada beberapa studi, perilaku ini terus muncul sampai anak berusia 9 tahun.
Dokter yang akrab disapa Ary ini juga menjelaskan bahwa kekhawatiran orangtua juga kadang suka dibarengi dengan persepsi bahwa anak yang belum makan nasi itu berarti belum makan. Yang lain tidak dianggap karena anak hanya makan camilan. Padahal, makanan seperti sereal, biskuit, chicken sandwich, roti, piza, burger, pancake, yoghurt, kentang rebus, ikan tuna, bisa menjadi makanan yang bergizi untuk anak dengan kandungan yang baik.
Walaupun tidak perlu dikhawatirkan karena “picky eater” banyak dialami anak, namun bukan berarti permasalahan ini bisa dibiarkan. Karena “picky eater” dalam jangka panjang dapat berakibat pada kekurangan nutrisi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak, yang akhirnya bisa berdampak pada kemampuan kognitifnya. Anak juga bisa hilang atau gagal menaikkan berat badan, sering terlambat dalam pertumbuhan sebagaimana normalnya, terlihat lesu dan kurang bergairah, serta sering menderita sakit atau infeksi. ”’Picky eater’ harus ditangani sedini mungkin,” tandasnya.
Sebuah penelitian ilmiah menunjukkan bahwa secara persentase, berat badan anak “picky eater” dibanding umurnya berada pada garis kurang dibanding anak yang tidak bermasalah makan. Jadi, jika sudah mengetahui penyebabnya, orang tua dapat mencari solusi tepat untuk hadapi si “picky eating”. Dengan begitu, pola makan anak menjadi baik, nutrisi berupa karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral, tercukupi dan jumlahnya sesuai dan seimbang untuk mendukung tumbuh kembangnya.
”Memastikan kecukupan nutrisi pada anak adalah salah satu cara terpenting yang dapat dilakukan orangtua agar anak bisa tumbuh optimal. Oleh karena itu, penting dilakukan konseling nutrisi serta suplementasi pada anak bermasalah makan yang membutuhkannya untuk memaksimalkan kecukupan nutrisi pada anak,” ungkapnya.
Saat anak memiliki pola “picky eater”, disarankan bagi orangtua untuk tidak memarahi, apalagi dengan memaksa anak untuk terus makan karena akan memperparah keadaannya, tetapi mencari solusi agar anak tidak lagi menjadi “picky eater”.
”Ketika orangtua memaksa anak agar makan lebih banyak karena si kecil mengalami penurunan berat badan, maka pemaksaan tersebut justru dapat membuat mereka kehilangan selera makan,” jelasnya.
Cara yang bisa dilakukan agar anak tidak lagi menjadi “picky eater” misalnya dengan menciptakan suasana yang menyenangkan saat makan. Jika suasana mencekam, maka anak pun tidak mau makan. Selain itu, bisa dilakukan dengan melibatkan anak dengan proses memasak, dimulai dari proses belanja, persiapan, hingga penyajiannya. Anda juga sebaiknya menanamkan edukasi gizi melalui pendampingan di saat santai. Misalnya ketika sedang menonton televisi atau pada waktu bercerita sebelum tidur. Ingatkan pada buah hati bahwa ada zat gizi tertentu yang dibutuhkan tubuh kecilnya untuk bertumbuh.
”Makan itu bukan naluri, tetapi belajar. Jadi, biarkan anak mau makan tanpa harus dipaksa dan jadilah contoh bagi anak dengan makan makanan yang sehat dan pola makan yang benar,” saran Ary.
Orangtua juga bisa mencari sumber informasi untuk mengatasi anak dengan pola “picky eater”. Seperti melalui internet karena di era digital seperti ini, orangtua memiliki kecenderungan mencari informasi dari internet. Mungkin Anda bisa menyambangi laman besutan Abbott Indonesia di www.pickyeating.co.id.
”Semua informasi ini dikembangkan berdasarkan studi sains dan klinik,” tutur Senior Product Manager Abbott Nutrition Indonesia, Erfin Suraida.
Jika sudah mengatasi cara untuk menyiasati pola “picky eater”, maka lakukan evaluasi kecukupan gizi pada anak. Bukan dalam waktu sehari, tetapi dalam jangka waktu per bulan. Ingat bahwa perilaku makan anak tidak akan berubah dalam satu hari atau satu malam.
sumber : http://lifestyle.okezone.com
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menyiasati Anak Picky Eater
Anak Anda sulit makan? Jangan dianggap sepele. Jika berat tubuhnya tidak bertambah sesuai batas rata-rata anak seusianya, orangtua tak perlu terlalu khawatir, namun tetap harus diperkenalkan dengan gizi seimbang. Namun, bila nafsu makan anak menurun, harus dicari tahu penyebabnya. Apakah karena ada masalah pada pencernaan, atau hal lainnya.
Problema makan pada anak bisa berakibat buruk pada tumbuh kembangnya. Sedikitnya makanan yang masuk ke dalam perutnya bisa menjadi indikasi bahwa anak berpeluang menderita kurang gizi. Indikator status kurang gizi dicerminkan oleh berat badan atau tinggi badan di bawah standar.
Bisa disiasati
Jika kebiasaan anak memilih makanan bukan karena masalah penyakit, yang paling mudah adalah dengan mengevaluasi menu yang dibuat untuk anak, jangan memasak yang itu-itu saja, variasikan menu makanan untuk anak, cari resep-resep dari buku-buku, koran, majalah, dan internet. Orangtua harus turun tangan mencoba sendiri resep-resep tersebut.
Orangtua seharusnya menyediakan makanan yang mengandung energi, karbohidrat, lemak, dan protein, serta vitamin. Tanpa vitamin, maknaan yang diasup tidak akan optimal diubah menjadi energi. Seluruh faktor ini diperlukan untuk pembentukan otot, tulang, sel-sel organ, serta membantu penghantaran informasi di otak.
Kalsium dan protein merupakan zat gizi kunci untuk pertumbuhan fisik anak karena sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang dan otot. Protein juga dibutuhkan untuk perkembangan fungsi otak sehingga dapat meningkatkan fungsi kognitif anak.
Picky eater sendiri sebetulnya bisa disiasati. Kuncinya ada pada orangtua dan pengasuh anak. Misalnya, sejak anak berusia 6 bulan, orangtua atau pengasuh anak mulai memberikan makanan padat. Nah, masa perkenalan ini harus terus-menerus dicoba dan dilakukan. Jangan misalnya baru sekali anak menolak makan sayur, terus tidak dicoba lagi. Bisa jadi, pada upaya yang kelima, baru anak mau makan sayur. Orangtua juga harus kreatif mencari pengganti dari jenis makanan yang tidak disukai anak. Pola makan seimbang mengharuskan adanya karbohidrat, protein, lemak, ditambah sayuran dan buah. Kalau anak tidak mau makan nasi, bisa diganti dengan roti, kentang, atau pasta. Itu untuk karbohidratnya.
Atau kalau anak enggak suka ikan, bisa diganti daging dan sebagainya. Siasati juga penyajian makanan untuk si kecil. Misalnya, membuat sendiri bakso, kemudian di dalamnya dimasukkan wortel atau brokoli yang sudah dihancurkan dengan blender.
Perhatikan pula jam makan anak, jangan memberikan susu atau selingan makanan yang manis-manis mendekati waktu makan. Buat jadwal yang teratur dari pagi menjelang tidur, dengan antara 2-3 jam. Jangan memaksa anak untuk menghabiskan makanannya. Mungkin dia sudah merasa kenyang.
Jangan lupa, jadikan waktu makan sebagai hal yang menyenangkan serta selalu memberikan contoh pola makan yang baik.
sumber : Tabloid Nova