Itu tandanya ia tak mau pisah dari kita. Namun jika pesannya disertai embel-embel minta oleh-oleh, ia tengah menguji rasa sayang kita padanya. Tanggapi dengan positif. Ini merupakan bekal rasa percaya dirinya.
Anak batita, kata Fitriani F. Syahrul, Psi., memang lagi rajin-rajinnya mengucapkan pesan-pesan selamat jalan. Bukan cuma pada ayah-ibunya, juga orang lain yang dekat dengannya. Perilaku ini, terangnya, merupakan hasil modelling atau peniruan, baik dari orang tua maupun anggota keluarga lain yang kerap melakukannya. Misal, kala ayah hendak ke kantor, si ibu bilang, "Hati-hati di jalan, ya, Pa. Jangan lupa pulangnya bawakan kue buat anak-anak."
Namun di balik peniruan itu sebenarnya terselip rasa cemas akan ditinggalkan oleh orang yang dekat dengannya. Soalnya, terang Fitriani, "anak usia ini masih sangat membutuhkan rasa aman dan rasa aman itu diperolehnya dari orang yang dekat dengannya atau orang tua." Jadi, pesan-pesan selamat jalan yang ia sampaikan sebenarnya merupakan ungkapan perasaan anak agar kita selalu ingat kepadanya, bahwa ia selalu ingin dekat dengan kita.
BERI TANGGAPAN POSITIF
Itulah mengapa, Fitriani menekankan agar kita menanggapinya dengan positif. Misal, "Terima kasih, ya, Nak. Pasti Mama akan hati-hati dan akan pulang lagi nanti sore," atau, "Papa perginya enggak lama, kok. Nanti sore juga pulang. Adek baik-baik di rumah, ya." Kemudian, kita bisa beri ia pelukan atau ciuman.
Tentunya kita pun harus memberi penjelasan pada si kecil kenapa kita harus meninggalkannya. Misal, "Ibu sekarang mau ke kantor dulu. Kan, Ibu harus kerja supaya bisa beli mainan buat Adek." Dengan begitu, ia jadi merasa lebih tenteram karena ia tahu kita pergi bukan untuk meninggalkannya, melainkan harus bekerja; ia merasa disayangi.
Sebaliknya, bila kita cuma mengucapkan, "Ya," sambil berlalu atau malah diam saja dan langsung pergi, "anak jadi bingung dan akan selalu bertanya-tanya dalam hatinya, 'Sebenarnya Mama sayang enggak, sih, sama aku?' Anak-anak, kan, masih simpel pemikirannya. Yang ia tahu hanya sayang atau tidak sayang."
Lagi pula, Bu-Pak, dengan kita berespon positif, si kecil bisa menjalani harinya dengan baik karena tak ada lagi yang perlu ia cemaskan. "Anak-anak itu, kan, kalau waktu pagi mood-nya sudah jelek, maka sepanjang hari itu akan jelek terus. Tapi jika awalnya sudah baik, selanjutnya ia akan melewati hari itu dengan riang gembira."
Namun yang lebih penting dari itu, tambah Fitriani, tanggapan positif dari kita sebetulnya merupakan cikal bakal terbentuknya rasa percaya diri anak. Bukankah salah satu unsur dominan dari percaya diri adalah rasa aman?
Manfaat lain, secara tak sadar kita juga tengah mengasah kemampuan berbicara si kecil. Bukankah si kecil akan balik memberi respon pula? Misal, kala kita berkata, "Terima kasih, ya, Bunda sudah diingatkan. Bunda sayang sama Adek." Si kecil pun akan membalas, "Iya, Adek juga sayang Bunda."
MENGUJI RASA SAYANG
Begitupun jika si kecil minta oleh-oleh, kita harus menanggapinya dengan positif pula semisal, "Iya, deh, nanti bawakan cokelat." Menurut Fitriani, enggak ada salahnya, kok, bila kita sesekali membawakan oleh-oleh yang diminta si kecil.
Soalnya, terang psikolog pada Yayasan Lentera Zaman ini, anak yang kerap mengucapkan pesan selamat jalan sambil minta oleh-oleh, bisa jadi tengah menguji rasa sayang orang tuanya. "Biasanya anak, kan, akan merasa disayang bila kita memberikan apa yang ia minta. Sebaliknya, kalau tak diberi, pasti ia akan merasa tak disayang lagi."
Namun, jika barang atau sesuatu yang kita janjikan itu ternyata tak terjangkau oleh keuangan kita, "ya, jangan memaksakan diri, dong." Maksudnya, kita tetap membelikan barang serupa tapi dengan harga lebih murah. Jangan kita malah tak membelinya sama sekali. Ingat, kita sudah janji pada si kecil dan janji harus ditepati.
Lain hal jika oleh suatu sebab kita lupa akan terjanji tersebut, kita harus segera minta maaf begitu tiba di rumah. Katakan, misal, "Nak, maaf, ya, tadi Ayah sibuk sekali sampai lupa akan janji Ayah untuk membawakan cokelat buat Adek." Kalau tidak, si kecil bisa sakit hati, lo. Yang lebih parah, ia tak percaya lagi pada kita. Apalagi jika sampai terjadi berulang kali, "akhirnya ia takkan percaya lagi pada lingkungan sekitarnya." Celaka, kan?
BUAT JADWAL
Bukan berarti kita harus selalu memenuhi permintaan oleh-oleh si kecil, lo. Terlebih bila keuangan kita memang tak memungkinkan untuk kita melakukannya. Si kecil harus dikasih pengertian, "Nak, sekarang Bunda lagi enggak punya uang. Jadi, Bunda enggak bisa beliin mobil-mobilan yang Adek minta. Nanti, deh, kalau Bunda sudah punya uang, kita sama-sama pergi membelinya, ya."
Justru kalau selalu dituruti, dampaknya buruk buat si kecil. "Ia jadi tergantung dalam arti ia akan menganggap kita sayang dan peduli kepadanya jika membawakan apa yang ia minta," terang Fitriani.
Selain itu, si kecil pun jadi manja dan tak pernah belajar menunda keinginan. Akhirnya nanti ia tak dapat menerima jika tak bisa memperoleh apa yang ia inginkan. "Ia akan marah atau sakit hati hanya gara-gara keinginannya tak dapat terwujud." Dalam bahasa lain, ia tak bisa menerima kenyataan. Hati-hati, lo, ini bisa terbawa sampai dewasa.
Jadi, Bu-Pak, sekalipun kita mampu memberikan apa yang ia minta, tapi kita tetap harus melatihnya untuk belajar bahwa tak semua keinginannya harus selalu dipenuhi. Caranya, beri pengertian. Misal, "Nak, bukan berarti Bunda enggak sayang sama Adek kalau Bunda enggak bawakan oleh-oleh. Kan, kemarin, Bunda sudah bawakan mobil-mobilan yang Adek pesan. Sekarang cium saja, ya."
Cara lain, jadwalkan waktu pemberian oleh-oleh. Misal, seminggu sekali. Tapi itu pun harus dilakukan secara random, lo. Misal, minggu ini ia diberi oleh-oleh pada hari Sabtu, minggu depannya Rabu, minggu depannya lagi Jumat, dan seterusnya. Soalnya, kalau enggak di-random, jelas Fitriani, lama-lama si kecil akan tahu bahwa ia pasti akan dibelikan atau dikasih oleh-oleh pada hari Sabtu, misal. Akibatnya, ketika tiba hari Sabtu, ia langsung menuntut minta dibawakan oleh-oleh. Celaka, kan?
TETAP DIPELIHARA
Jika pada suatu hari si kecil tak lagi mengucapkan pesan-pesan selamat jalan, jangan kaget atau bingung, ya, Bu-Pak. Hal ini wajar saja. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, gradasinya memang akan menurun. Soalnya, terang Fitriani, si kecil lama-kelamaan akan mengerti bahwa ayah-ibunya pergi tiap pagi untuk bekerja, bukan ingin meninggalkannya.
Disamping, "anak mulai punya kebutuhan lain seperti belajar dan bermain." Hal ini disebabkan, secara psikologis, anak telah memiliki bekal rasa aman atau rasa aman itu sudah menjadi bagian dari dirinya. Hingga, tak ada lagi rasa cemas akan perpisahan dan perkembangannya pun berjalan wajar.
Namun begitu, ingat Fitriani, pesan selamat jalan harus tetap dipelihara. "Kalau sampai hilang sama sekali, ya, enggak baik juga, dong. Misal, saat kita mau berangkat ke kantor, anak cuek saja." Jadi, kita tetap perlu membiasakan si kecil untuk mengucapkan pesan selamat jalan. Tentu kita pun harus melakukannya juga. Bukankah orang tua adalah contoh buat anak?
JANGAN HINDARI SI KECIL
Banyak, lo, orang tua yang malah menghindari anaknya kala hendak meninggalkan rumah. Alasannya, takut si kecil menangis. Hingga, kala harus pergi ke kantor, misal, dilakukan secara sembunyi-sembunyi, jangan sampai anaknya melihat. Padahal, cara ini sungguh keliru. "Perlakuan orang tua yang demikian hanya akan membuat anak tak percaya lagi dengan lingkungannya," jelas Fitriani.
Awalnya, si kecil masih percaya ketika kita bilang mau ke kamar mandi, misal. Namun lama-lama si kecil pun akan sadar, "Kok, ke kamar mandinya lama sekali, ya?" Nah, setelah itu ia pasti akan mencari-cari hingga ia pun jadi meragukan dirinya sendiri, "Apa benar yang aku dengar tadi kalau Ibu mau ke kamar mandi?" Akhirnya, ia pun sadar kalau dibohongi.
Jadi, Bu-Pak, meski pesan selamat jalan yang diberikan si kecil berupa tangisan, kita tetap tak boleh menghindarinya. Justru kita harus memberinya pengertian, misal, "Adek jangan nangis gitu, dong. Kan, Bunda cuma mau pergi ke kantor. Nanti sore juga Bunda pulang lagi, kok."
sumber : Tabloid Nova